UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
|
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Umum
Pasal 7
(1)
Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2)
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan
global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
Bagian
Kedua
Penyelenggara
Pasal
8
(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)
huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk
maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu
:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi;
(2) Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah ;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi;
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
9
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan
dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk
keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
PENYIDIKAN
Pasal
44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan
hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomuniksi.
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana
di bidang telekomunikasi;
f.
menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di
bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan atau
menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi; dan
i.
mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal
45
Barang
siapa melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal
19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1),Pasal 29
ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34
ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal
46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
47
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
48
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
49
Penyelenggara
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
50
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
51
Penyelenggara
telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2) , dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
Pasal
52
Barang
siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan, atau menggunakan perangkat
telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
53
(1) Brang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal
54
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
55
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal
56
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal
57
Penyelenggara
jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
58
Alat
dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, atau Pasal 56 dirampas untuk
negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal
59
Perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 52,
Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Contoh
Pelanggaran
Gugatan Bolt Dikabulkan, Ini
Tanggapan Menkominfo
Fatimah
Kartini Bohang
Kompas.com
- 10/03/2017, 14:43 WIB
JAKARTA,
KOMPAS.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta
Pusat mengabulkan gugatan yang diajukan PT Internux (Bolt) kepada Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo) beberapa saat lalu.
Gugatan
itu menyoal tindakan Kominfo yang memberikan spektrum 30 MHz ke PT Smart
Telecom (Smartfren) di pita 2,3 GHz tanpa proses pelelangan. Tindakan tersebut
dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Menanggapi
hal ini, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan
masih menunggu salinan putusan dari PN untuk mengambil langkah berikutnya.
"Saya
belum terima salinan putusannya. Ini baru dengar dari media," kata dia,
Kamis (9/3/2017) lalu seusai acara peluncuran BlackBerry Aurora di Hotel
Fairmont, Jakarta.
"Saya
baca dulu putusannya seperti apa. Setelah itu kami (Kominfo) diskusikan. Ini
kan baru di PN, masih ada kemungkinan banding. Masih panjang," ia
menambahkan.
Bermula
sejak 2014
Kisruh
tentang pemanfaatan frekuensi 2,3 GHz ini bermula sejak 2014 lalu. Kala itu
Kominfo memberikan alokasi frekuensi 2,3 GHz ke PT Smart Telecom yang sejatinya
memegang lisensi nasional di frekuensi 1,9 GHz.
Dalihnya,
ada gangguan sinyal perangkat radio terhadap operator GSM yang memengaruhi
jaringan Smart Telecom waktu itu. Hasilnya, Smart Telecom yang hanya memiliki
spektrum selebar 7,5 MHz di frekuensi 1,9 GHz mendapat spektrum 30 MHz di
frekuensi 2,3 GHz.
Menurut
sebagian pihak, frekuensi tidak boleh dialihfungsikan kepada pihak lain.
Harusnya diserahkan dulu ke negara untuk kemudian dilelang ulang secara
terbuka.
Dalam
konteks ini, PT Internux selaku penyedia broadband wireless access (BWA)
menuntut Kominfo agar memberikan pula spektrum 30 MHz pada pita 2,3 GHz dengan
cakupan nasional serta izin layanan suara, penomeran, dan kode akses bagi
pemegang merek Bolt.
Pendapat
mengenai berita pelanggaran
Dalam kasus ini saya melihat kecemburuan dari pihak Bolt terhadap smartfren yang mendapat jatah spectrum lebih besar. Hal ini mungkin akan menimbulkan efek pelanggan Bolt akan berpndah ke Smartfren demi mendapatkan jaringan internet yang memuaskan. Karena Bolt merasa dirugikan dengan hal ini maka ia melaporkan ke Kominfo.
Karena Smartfren hanya memiliki lisensi nasional di frekuensi 1,9 GHz seharusnya tidak boleh mendapatkan alokasi frekuensi 2,3 GHz. Dan Smartfren juga mendapatkan spektrum 30 MHz di pita 2,3 GHz tanpa proses pelelangan. Tindakan tersebut dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Smartfren mendapat sanksi pelanggaran frekuensi radio melanggar pasal - pasal berikut:
Ketentuan dan Sanksi Penggunaan
Frekuensi Radio
Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999
Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999
1.
Pasal 33 ayat (1) dan (2) :
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
2.
Pasal 53 ayat (1) :
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Sri Retno Andriani – 18113623 – 4KA42
Sumber :